Sunday, June 26, 2016

Sekolah Daerah Atas Kabupaten Pekalongan Terancam Mati Suri

SDN 04 Tlogopakis Jml  22 Siswa

*Jika Kebijakan Rasio Siswa dan BOS Diterapkan



Sekolahan di daerah atas Kabupaten Pekalongan dikhawatirkan bakal ‘mati suri’ apabila kebijakan rasio atau perbandingan jumlah siswa dengan guru di dalam satu rombongan belajar (rombel) serta dana BOS yang baru diterapkan. Pasalnya, jumlah murid di daerah pegunungan dalam satu rombel sedikit sehingga tidak memenuhi regulasi tersebut.

Kekhawatiran itu diungkapkan para kepala sekolah di daerah pegunungan dalam rapat koordinasi (rakor) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Pekalongan di UPT Pendidikan Kecamatan Petungkriyono di Aula

LMDH di obyek wisata Curug Bajing, kemarin.

Rakor ini dihadiri Plt Kepala Dinas Dindikbud Kabupaten Pekalongan, Drs Sri Sugiarti, Kabid PAUD, Abadi, Kepala UPT Pendidikan Petungkriyono, Mashudi Saan, Ketua Perkumpulan Kepala Sekolah se-Petungkriyono, Tri Setia Budi, dan seluruh kepala sekolah di kecamatan tersebut.

Kepala UPT Pendidikan Petungkriyono, Mashudi Saan, menuturkan, ada dua kekhawatiran utama yang dirasakan kepala sekolah di Kecamatan Petungkriyono, dan kemungkinan dirasakan pula oleh seluruh sekolahan di daerah pegunungan di Kota Santri. Pertama, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS Daerah. Dimana dalam peraturan tersebut menyebutkan, bahwa guru dibayarkan tunjangan profesinya jika mengajar dengan rasio siswa sesuai dengan ketentuan. Untuk tingkat SD/sederajat rasionya 20:1.

“Padahal, di Petungkriyono, banyak sekolahan yang tidak memenuhi kriteria itu,” jelasnya.

Di Petungkriyono, lanjut dia, ada sekolahan yang jumlah muridnya hanya 20 anak, 30 anak, hingga 50 anak. Sekolah dengan murid mencapai 100 anak, hanya ada tiga sekolahan saja. “Ini yang membuat keresahan sekolahan. Makanya, untuk daerah-daerah tertentu seperti di Petungkriyono ini diharapkan ada kebijakan khusus,” katanya.

Dicontohkan, di SD Songgowedi 3, jumlah anak dalam satu sekolahan hanya ada 21 anak. Sehingga, jumlah anak dalam satu kelas sangat sedikit. Upaya regrouping atau penggabungan sekolahan pun sulit dilakukan di daerah atas tersebut. Sebab, jarak antarsekolahan sangat jauh dan medannya sulit. Bahkan, meskipun dua sekolahan digabung, jumlah muridnya tetap masih di bawah 100 anak.

“Untuk SD Songgowedi 3 jarak ke SD Songgowedi 1 atau 2 sekitar 5 kilometer dengan medan yang sangat sulit. Anak-anak tidak mungkin berjalan kaki sejauh itu dengan jalan yang berat. Untuk SD Songgowedi 1 dan 2 yang sudah diregrouping pun jumlah siswanya hanya mencapai 80 anak. Masih tetap sedikit,” ungkapnya.

Kekhawatiran kedua, sambung Mashudi Saan, adalah penerimaan dana BOS yang diberikan sesuai dengan jumlah siswa yang ada. Sebelumnya, jika jumlah siswa kurang dari 60 anak, maka sekolahan tetap mendapatkan alokasi dana BOS sebanyak 60 anak itu atau sekitar Rp 800 ribu dikalikan 60 anak pertahunnya.

“Dana BOS diberikan sesuai dengan jumlah siswa yang ada sejak Januari lalu. Karena kebijakan ini, sekolahan akan kesulitan. Dana BOS selama ini sangat diperlukan untuk operasional sekolahan dan juga membayar guru-guru wiyata bhakti (WB). Di Petungkriyono, rata-rata guru kelas PNS persekolahan hanya ada 3 hingga 4 guru, dan sisanya 3 hingga 4 guru lainnya masih berstatus WB,” tandasnya. (yan)yang Kami Kutip dari Radar Pekalongan 04 Juni 2016

No comments:

Post a Comment